ARAB PRA ISLAM
Kondisi
Sosial, Budaya, Agama, Ekonomi dan Politik
A. Pendahuluan
Masa sebelum Islam, khususnya kawasan jazi>rah Arab,
disebut masa ja>hiliyyah.[1] Julukan
semacam ini terlahir disebabkan oleh terbelakangnya moral masyarakat Arab khususnya
Arab pedalaman (badui) yang hidup menyatu dengan padang pasir dan area tanah
yang gersang. Mereka pada umumnya hidup berkabilah dan nomaden. Mereka berada
dalam lingkungan miskin pengetahuan. Situasi yang penuh dengan kegelapan dan
kebodohan tersebut, mengakibatkan mereka sesat jalan, tidak menemukan
nilai-nilai kemanusiaan, membunuh anak dengan dalih kemuliaan, memusnahkan
kekayaan dengan perjudian, membangkitkan peperangan dengan alasan harga diri
dan kepahlawanan. Suasana semacam ini terus berlangsung hingga datang Islam di
tengah-tengah mereka.
Namun demikian, bukan berarti masyarakat Arab pada
waktu itu sama sekali tidak memiliki peradaban. Bangsa Arab sebelum lahirnya
Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak
geografis yang cukup strategis, terutama kawasan pesisir yang pada waktu itu
ramai dilalui kapal-kapal pedagang Eropa yang hendak menuju India, Asia
Tenggara, Cina dan sekitarnya, telah membuat kawasan ini lebih maju dari pada
kawasan Arab yang lain. Makkah pada waktu itu merupakan kota dagang bertaraf
internasional. Hal ini diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis karena
terletak di persimpangan jalan penghubung jalur perdagangan dan jaringan bisnis
dari Yaman ke Syiria.
Rentetan
peristiwa yang melatar belakangi lahirnya Islam merupakan hal yang sangat
penting untuk dikaji. Hal demikian karena tidak ada satu pun peristiwa di dunia
yang terlepas dari konteks historis dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya.
Artinya, antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya terdapat hubungan yang
erat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk hubungan Islam dengan situasi dan
kondisi Arab pra Islam.
B.
Geografis
Jazi>rah Arab
Semenanjung
Arab adalah semenanjung yang terletak di sebelah barat daya Asia. Wilayahnya
memiliki luas 1.745.900 kilometer persegi.[2] Semenanjung
ini dinamakan jazi>rah karena tiga sisinya berbatasan dengan air,
yakni di sebelah timur berbatasan dengan teluk Oman dan teluk Persi, di sebelah
selatan berbatasan dengan Samudra Hindia dan teluk Aden, di sebelah barat
berbatasan dengan laut merah. Hanya di sebelah utara, jazi>rah ini
berbatasan dengan daratan atau padang pasir Irak dan Syiria.[3]
Secara
geografis, daratan jazi>rah Arab didominasi padang pasir yang luas,
serta memiliki iklim yang panas dan kering. Hampir lima per enam daerahnya terdiri
dari padang pasir dan gunung batu.[4] Luas padang
pasir ini diklasifikasikan Ahmad Amin sebagai berikut:
1.
Sahara Langit, yakni yang
memanjang 140 mil dari utara ke selatan dan 180 mil dari timur ke barat. Sahara
ini disebut juga sahara Nufu>d. Di daerah ini, jarang sekali ditemukan
lembah dan mata air. Angin disertai debu telah menjadi ciri khas suasana di tempat
ini. Hal itulah yang menyebabkan daerah ini sulit dilalui.
2.
Sahara Selatan, yakni yang
membentang dan menyambung Sahara Langit ke arah timur sampai selatan Persia.
Hampir seluruhnya merupakan dataran keras, tandus, dan pasir bergelombang.
Daerah ini juga disebut dengan daerah sepi (al-Rub’ al-Kha>li>).
3.
Sahara Harrat, yakni suatu
daerah yang terdiri dari tanah liat berbatu hitam. Gugusan batu-batu hitam itu
menyebar di seluruh sahara ini.[5]
Secara
garis besar, jazi>rah Arab dibedakan menjadi dua, yakni daerah
pedalaman dan pesisir. Daerah pedalaman jarang sekali mendapatkan hujan, namun
sesekali hujan turun dengan lebatnya. Kesempatan demikian biasa dimanfaatkan penduduk
nomadik dengan mencari genangan air dan padang rumput demi keberlangsungan
hidup mereka. Sedangkan daerah pesisir, hujan turun dengan teratur, sehingga
para penduduk daerah tersebut relatif padat dan sudah bertempat tinggal tetap. Oleh
karena itu, di daerah pesisir ini, jauh sebelum Islam lahir, sudah berkembang
kota-kota dan kerajaan-kerajaan penting, seperti kerajaan Himyar, Saba’, Hirah
dan Ghassan.[6]
C.
Kehidupan
Sosial dan Budaya Masyarakat
Bangsa
Arab mempunyai akar panjang dalam sejarah. Mereka termasuk ras atau rumpun
bangsa kaukasoid, sebagaimana ras-ras yang mendiami daerah Mediteranian,
Nordic, Alpine dan Indic.[7]
Bangsa
Arab hidup berpindah-pindah (nomad). Demikian ini karena kondisi tanah tempat
mereka hidup terdiri dari gurun pasir kering dan minim turun hujan. Perpindahan
mereka dari satu tempat ke tempat lain mengikuti tumbuhnya stepa (padang rumput)
yang muncul secara sporadis di sekitar oasis atau genangan air setelah turun
hujan. Padang rumput diperlukan badui Arab untuk kebutuhan makan binatang
ternak seperti kuda, onta dan domba.
Berbeda
halnya dengan penduduk Arab perkotaan terutama penduduk pesisir, pertanian,
peternakan dan perdangangan, dapat berkembang dengan baik di daerah tersebut. Hal
inilah tentunya yang membuat kehidupan masyarakat pesisir lebih makmur daripada
masyarakat pedalaman (badui). Dari realitas ini, maka timbullah reaksi antara
penduduk kota atau pesisir dengan penduduk pedalaman atau badui.
Aksi dan
reaksi antara penduduk kota dengan masyarakat gurun dimotivasi oleh desakan
kuat untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Orang-orang nomad bersikeras mendapatkan
sumber-sumber tertentu pada orang-orang kota terhadap apa yang tidak mereka
miliki dari lingkungan mereka tinggal. Hal itu dilakukan baik melalui kekerasan
(penyerbuan kilat) atau jalan damai (barter). Orang-orang badui nomaden dikenal
sebagai perampok darat dan makelar. Gurun pasir, yang merupakan daerah operasi
mereka sebagai perampok, memiliki kesamaan karakteristik dengan laut.[8]
Masyarakat,
baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan. Organisasi dan
identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang
luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah (clan). Beberapa
kelompok kabilah membentuk suku (trible) dan dipimpin oleh Shaikh.[9] Keeratan
hubungan kesukuan, kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan
bagi suatu kabilah atau suku. Maka tidak heran, jika peperangan antar suku
menjadi ciri khas masyarakat ini. Rendahnya harga wanita seakan-akan menjadi
akibat dari keadaan masyarakat yang suka berperang tersebut.
Akibat
tradisi peperangan ini, kebudayaan mereka tidak berkembang. Karena itu,
bahan-bahan sejarah Arab pra Islam langka didapatkan di dunia Arab dan dalam
bahasa Arab. Ahmad Shalabi menyebutkan, sejarah mereka hanya dapat diketahui
dari masa kira-kira 150 tahun menjelang lahirnya agama Islam.[10]
Pengetahuan itu diperoleh melalui syair-syair yang beredar di kalangan para pe-ra>wi>
syair. Dengan begitulah sejarah dan sifat masyarakat Arab dapat diketahui, yang
antara lain bersemangat tinggi dalam mencari nafkah, sabar menghadapi kekerasan
alam, dan juga dikenal sebagai masyarakat yang cinta kebebasan.
Dengan kondisi
alami yang seperti tidak pernah berubah itu, masyarakat badui pada dasarnya
tetap berada dalam fitrahnya. Kemurniannya terjaga, jauh lebih murni dari
bangsa-bangsa lain. Dasar-dasar kehidupan mereka mungkin dapat disejajarkan
dengan bangsa-bangsa yang masih berada dalam taraf permulaan perkembangan
budaya. Bedanya dengan bangsa lain, hampir seluruh penduduk badui adalah
penyair.[11]
Lain
halnya dengan penduduk kota yang memiliki kemajuan peradaban, sejarah mereka
dapat diketahui lebih jelas. Mereka selalu mengalami perubahan seiring dengan
perubahan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Mereka telah mampu berkarya
seperti membuat alat-alat dari besi, bahkan sampai mendirikan
kerajaan-kerajaan. Sampai pada lahirnya Nabi Muh}ammad, daerah-daerah tersebut
masih merupakan kota-kota perniagaan, sebagaimana diketahui bahwa daerah
tersebut merupakan jalur perdagangan antara Eropa dan Asia. Sebagaimana
masyarakat badui, penduduk daerah ini juga mahir bersyair. Biasanya,
syair-syair dibacakan di pasar-pasar, semacam pagelaran pembacaan syair,
seperti yang terjadi di pasar ukaz. Bahasa mereka kaya dengan ungkapan, tata
bahasa dan kiasan.[12]
D. Kondisi Perekonomian
Perdagangan
merupakan unsur penting dalam perekonomian masyarakat Arab pra Islam. Mereka
telah lama mengenal perdagangan bukan saja dengan orang Arab, tetapi juga
dengan non-Arab. Kemajuan perdagangan bangsa Arab pra Islam dimungkinkan antara
lain karena pertanian yang telah maju. Kemajuan ini ditandai dengan adanya
kegiatan ekspor-impor yang mereka lakukan. Para pedagang Arab selatan dan Yaman
pada 200 tahun menjelang Islam lahir telah mengadakan transaksi dengan Hindia,
Afrika, dan Persia. Komoditas ekspor Arab selatan dan Yaman adalah dupa,
kemenyan, kayu gaharu, minyak wangi, kulit binatang, buah kismis, dan anggur.
Sedangkan yang mereka impor dari Afrika adalah kayu, logam, budak; dari Hindia
adalah gading, sutra, pakaian dan pedang; dari Persia adalah intan.[13] Data
ini menunjukkan bahwa perdagangan merupakan urat nadi perekonomian yang sangat
penting sehingga kebijakan politik yang dilakukan memang dalam rangka
mengamankan jalur perdagangan ini.
Faktor-faktor
yang mendorong kemajuan perdagangan Arab pra Islam sebagaimana dikemukakan
Burhan al-Di>n Dallu adalah sebagai berikut:
1.
Kemajuan produksi lokal serta
kemajuan aspek pertanian.
2.
Adanya anggapan bahwa
pedagang merupakan profesi yang paling bergengsi.
3.
Terjalinnya suku-suku ke
dalam politik dan perjanjian perdagangan lokal maupun regional antara pembesar
Hijaz di satu pihak dengan penguasa Syam, Persia dan Ethiopia di pihak lain.
4.
Letak geografis Hijaz yang
sangat strategis di jazi>rah Arab.
5.
Mundurnya perekonomian dua
imperium besar, Byzantium dan Sasaniah, karena keduanya terlibat peperangan
terus menerus.
6.
Jatuhnya Arab selatan dan
Yaman secara politis ke tangan orang Ethiopia pada tahun 535 Masehi dan
kemudian ke tangan Persia pada tahun 257 M.
7.
Dibangunnya pasar lokal dan
pasa musiman di Hijaz, seperti Ukaz, Majna, Zu al-Majaz, pasar bani Qainuna,
Dumat al-Jandal, Yamamah dan pasar Wahat.
8.
Terblokadenya lalu lintas
perdagangan Byzantium di utara Hijaz dan laut merah.
9.
Terisolasinya perdagangan
orang Ethiopia di laut merah karena diblokade tentara Yaman pada tahun 575 M.[14]
Data-data
yang dikemukakan Dallu menunjukkan bahwa antara ekonomi dan politik tidak dapat
dipisahkan dalam konteks kehidupan masyarakat Arab pra Islam. Kehidupan politik
Byzantium dan Sasaniah turut memberikan sumbangan dalam memajukan proses
perdagangan yang berlangsung di Hijaz, karena kedua kerajaan ini sangat
berkepentingan terhadap jalur perdagangan ini.
Di lain
sisi, Mekkah di mana terdapat ka’bah yang pada waktu itu sebagai pusat kegiatan
Agama, telah menjadi jalur perdagangan internasional.[15] Hal ini
diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis karena terletak di
persimpangan jalan yang menghubungkan jalur perdagangan dan jaringan bisnis
dari Yaman ke Syiria, dari Abysinia ke Irak. Pada mulanya Mekkah didirikan
sebagai pusat perdagangan lokal di samping juga pusat kegiatan agama. Karena
Mekkah merupakan tempat suci, maka para pengunjung merasa terjamin keamanan
jiwanya dan mereka harus menghentikan segala permusuhan selama masih berada di
daerah tersebut. Untuk menjamin keamanan dalam perjalanan suatu sistem keamanan
di bulan-bulan suci, ditetapkan oleh suku-suku yang ada di sekitarnya.[16] Keberhasilan
sistem ini mengakibatkan berkembangnya perdagangan yang pada gilirannya
menyebabkan munculnya tempat-tempat perdagangan baru.
Dengan
posisi Mekkah yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan bertaraf
internasional, komoditas-komoditas yang diperdagangkan tentu saja barang-barang
mewah seperti emas, perak, sutra, rempah-rempah, minyak wangi, kemenyan, dan
lain-lain. Walaupun kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah pada mulanya
para pedagang Quraish merupakan pedagang eceran, tetapi dalam perkembangan
selanjutnya orang-orang Mekkah memperoleh sukses besar, sehingga mereka menjadi
pengusaha di berbagai bidang bisnis.[17]
E.
Situasi
Politik
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sebagian besar daerah
Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur. Ditambah lagi dengan kenyataan luasnya daerah di tengah Jazi>rah Arab,
bengisnya alam, sulitnya transportasi, dan merajalelanya badui yang merupakan
faktor-faktor penghalang bagi terbentuknya sebuah negara kesatuan serta
adanya tatanan politik yang benar. Mereka tidak
mungkin menetap. Mereka hanya bisa loyal ke kabilahnya. Oleh karena itu, mereka
tidak akan tunduk ke sebuah kekuatan politik di luar kabilahnya yang menjadikan
mereka tidak mengenal konsep negara.[18]
Sementara
menurut Nicholson, tidak terbentuknya Negara dalam struktur masyarakat Arab pra
Islam, disebabkan karena konstitusi kesukuan tidak tertulis. Sehingga pemimpin
tidak mempunyai hak memerintah dan menjatuhkan hukuman pada anggotanya.[19] Namun
dalam bidang perdagangan, peran pemimpin suku sangat kuat. Hal ini tercermin
dalam perjanjian-perjanjian perdagangan yang pernah dibuat antara pemimpin suku
di Mekkah dengan penguasa Yaman, Yamamah, Tamim, Ghassaniah, Hirah, Suriah, dab
Ethiopia.
Model
organisasi politik bangsa Arab lebih didominasi kesukuan (model kabilah).
Kepala sukunya disebut Shaikh, yakni seorang pemimpin yang dipilih
antara sesama anggota. Shaikh dipilih
dari suku yang lebih tua, biasanya dari anggota yang masih memiliki hubungan
famili. Fungsi pemerintahan Shaikh ini lebih banyak bersifat penengah
(arbitrasi) dari pada memberi komando. Shaikh tidak berwenang memaksa,
serta tidak dapat membebankan tugas-tugas atau mengenakan hukuman-hukuman. Hak
dan kewajiban hanya melekat pada warga suku secara individual, serta tidak
mengikat pada warga suku lain.[20]
F.
Keberagamaan
Masyarakat
Penduduk
Arab menganut agama yang bermacam-macam. Paganisme, Yahudi, dan
Kristen merupakan ragam agama orang Arab
pra Islam. Pagan
adalah agama mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam bentuk ada
di sekitar Ka’bah. Setidaknya ada empat sebutan bagi berhala-hala itu: s}anam, wathan, nus}ub, dan hubal. S}anam berbentuk manusia dibuat dari
logam atau kayu. Wathan juga dibuat dari batu. Nus}ub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. H}ubal berbentuk
manusia yang dibuat dari batu akik. Dialah dewa orang Arab yang paling besar
dan diletakkan dalam Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru jazi>rah datang berziarah
ke tempat itu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri.[21]
Ini membuktikan bahwa paganisme sudah berumur ribuan tahun. Sejak berabad-abad
penyembahan patung berhala tetap tidak terusik, baik pada masa kehadiran
permukiman Yahudi maupun upaya-upaya kristenisasi yang muncul di Syiria dan
Mesir.[22]
Agama Yahudi dianut oleh
para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak banyak data sejarah
tentang pemeluk dan kejadian penting agama ini di Jazi>rah Arab, kecuali di
Yaman. Dzū Nuwās merupakan penguasa Yaman
yang condong ke Yahudi. Dia tidak menyukai penyembahan berhala yang telah
menimpa bangsanya. Dia meminta penduduk Najran agar masuk agama Yahudi. sehingga kalau mereka menolak, maka akan dibunuh. Namun yang terjadi justru menolak, maka
digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam
parit itu, serta dibunuh dengan
pedang atau dilukai
sampai cacat bagi yang selamat dari api tersebut. Korban
pembunuhan itu mencapai dua puluh ribu orang. Tragedi berdarah dengan motif
fanatisme agama ini diabadikan dalam al-Quran dalam kisah “orang-orang yang
membuat parit” (As}h}a>b
al-Ukhdu>d).[23]
Sedangkan Agama Kristen di jazi>rah Arab dan
sekitarnya sebelum kedatangan Islam tidak ternodai oleh tragedi yang mengerikan
semacam itu. Yang tampak hanyalah pertikaian di antara sekte-sekte Kristen.
Menurut Muhammad ‘A<bid al-Jābirī, al-Quran menggunakan istilah “Nas}a>ra>”
bukan “al-Masi>hi>yah” dan “al-Masi>hi>” bagi pemeluk
agama Kristen. Bagi pendeta Kristen resmi (Katolik, Ortodoks, dan Evangelis)
istilah “Nas}a>ra” adalah sekte
sesat, tetapi bagi ulama Islam mereka adalah “H{awa>ri>yu>n”. Para misionaris
Kristen menyebarkan doktrinnya dengan bahasa Yunani yang waktu itu
madhab-madhab filsafat dan aliran-aliran gnostik dan hermes menyerbu daerah
itu. Inilah yang menimbulkan pertentangan antara misionaris dan pemikir Yunani
yang memunculkan usaha-usaha mendamaikan antara filsafat Yunani yang bertumpu
pada akal dan doktrin Kristen yang bertumpu pada iman. Inilah yang melahirkan
sekte-sekte Kristen yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru, termasuk jazi>rah Arab dan
sekitarnya.[24]
Sekte Arius menyebar di bagian selatan jazi>rah Arab, yaitu dari
Suria dan Palestina ke Irak dan Persia. Misionaris sekte ini telah menjelajahi
penjuru-penjuru jazi>rah Arab yang memastikan bahwa dakwah mereka
telah sampai di Mekah, baik melalui misionaris atau pedagang Quraish yang
berhubungan terus-menerus dengan Syam, Yaman, dan Habashah.[25]
Tetapi salah satu sekte yang sejalan dengan tauhid murni agama samawi adalah
sekte Ebionestes.[26]
Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang
selain tiga agama di atas adalah Hani>fi>yah, yaitu sekelompok
orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak terkontaminasi oleh
nafsu penyembahan berhala-berhala, juga tidak menganut agama Yahudi ataupun
Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka berpandangan bahwa agama yang
benar di sisi Allah adalah Hani>fi>yah, sebagai aktualisasi dari millah
Ibrahim. Gerakan ini menyebar luas ke pelbagai penjuru Jazirah Arab khususnya
di tiga wilayah Hijaz, yaitu Yathrib, T{aif, dan Mekah.[27]
G. Kesimpulan
Secara sosiologis, bangsa Arab sebelum
Islam merupakan bangsa yang hidup secara kesukuan. Mereka hidup
berpindah-pindah. Hal ini disebabkan kondisi geografis yang tidak mendukung,
seperti model tanah yang tandus, berbatu, padang pasir luas serta beriklim
panas dan jarang turun hujan. Dalam keadaan semacam ini, wajar jika mereka memiliki
watak keras, suka berperang, merampok, berjudi, berzina, sehingga terkesan jauh
dari nilai-nilai moral-kemanusiaan. Demikian ini seakan-akan menjadi tradisi
masyarakat Arab sebelum Islam. Keadaan semacam inilah yang meniscayakan zaman
tersebut disebut zaman ja>hiliyyah.
Dari sisi perekonomian, unsur
penting yang menjadi andalan masyarakat Arab pra Islam adalah perdagangan di
samping bertani dan beternak. Mereka telah lama mengenal perdagangan bukan saja
dengan orang Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Terbukti dengan adanya Mekkah
sebagai kota dagang internasional. Demikian ini karena letak daerah Hijaz,
khususnya Mekkah, sangatlah strategis, yakni penghubung jalur dagang antara
Yaman dengan Syiria. Di samping itu, daerah pesisir ini juga di lewati
kapal-kapal dagang Eropa dan Asia melalui laut merah.
Dunia politik Arab pra Islam lebih
didominasi oleh model kesukuan. Pimpinan tertinggi dari suku dinamakan Shaikh.
Fungsi
pemerintahan Shaikh ini lebih banyak bersifat penengah (arbitrasi) dari
pada memberi komando. Shaikh tidak berwenang memaksa, serta tidak dapat
membebankan tugas-tugas atau mengenakan hukuman-hukuman. Dari dominasi model
kesukuan ini, terbentuknya Negara kesatuan
serta
adanya tatanan politik yang benar agaknya
sedikit terhalangi.
Sementara
jika ditinjau dari sisi keagamaan, masyarakat Arab pra Islam memeluk berbagai
macam agama, di antaranya Paganisme, Yahudi, Kristen dan Hani>fi>yah. Agama-agama ini merupakan agama
warisan dari pendahu-pendahulunya. Keadaan tersebut masing terus berlangsung
sampai datangnya Islam sebagai agama yang hak, serta penyempurna dari
agama-agama samawi sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ami>n,
Ahmad. Fajr al-Isla>m. Kairo: Maktabah Najdah al-Mis}riyyah, 1975.
A’z}amī, M.M. al-. Sejarah Teks al-Quran
dari Wahyu sampai Kompilasi.
Jakarta: Gema
Insani, 2005.
Dallu, Burhan
al-Di>n. Jazi>rat al-‘Arab Qabl al-Isla>m. Beirut: t.p, 1989.
Dawrī, ‘Abd al-‘Azīz al-. Muqaddimah fī Ta>rīkh Ṣadr al-Isla>m. Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah, 2007.
Fadil
SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintas Sejarah (Malang: UIN
Malang Press, 2008
Haekal, Muh}ammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah. Jakarta; Litera Antar Nusa, 2011.
Hitti,
Philip K. History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010.
Karim, Khalil Abdul. Syari’ah:
Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan.
Yogyakarta: LKiS,
2003.
Leboun, Gustav. Had}a>ra>t
al-‘Arab. Kairo: Mat}ba‘ah ‘Isa al-Ba>bi> al-Halabi>, t.t.
Lewis, Bernard. Bangsa
Arab dalam Lintasan Sejarah dari Segi Geografi, Sosial, Budaya dan Peranan
Islam, terj. Said Jamhuri. Jakarta: Ilmu Jaya, 1994.
Mufrrodi, Ali. Islam
di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos, 1997.
Mughni, Syafiq A. “Masyarakat Arab Pra
Islam”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, I. Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2002.
Mujahidin,
Ahmad. “Arab Pra Islam; Hubungan Ekonomi dan Politik dengan Negara-Negara
Sekitarnya”. Jurnal Akademika, Volume 12 Nomor 2. Maret, 2003.
Nicholson, R.A. A
Literary History of The Arabs. Cambridge: Cambridge University Press, 1997.
Shalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan
Islam, buku I, terj. M. Sanusi Latief. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983.
Watt, Montgomery. Muhammad at Mecca.
Oxford: Oxford University Press, 1956.
Yatim, Badri. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2010.
[1]Al-Qur-a>n, 33
(al-Ah}za>b): 33.
[2]Philip K. Hitti, History of
The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riadi, (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2010), 16.
[3]Fadil SJ, Pasang Surut
Peradaban Islam dalam Lintas Sejarah (Malang: UIN Malang Press, 2008), 43.
[4]Ibid., 43-44.
[5]Ahmad Ami>n, Fajr
al-Isla>m (Kairo: Maktabah Najdah al-Mis}riyyah, 1975), 1-2.
[6]Ahmad Mujahidin, “Arab Pra
Islam; Hubungan Ekonomi dan Politik dengan Negara-Negara Sekitarnya”, Jurnal
Akademika, Volume 12, Nomor 2 (Maret, 2003), 4.
[7]Ali Mufrrodi, Islam di
Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997), 5. Ras lain ialah
Mongoloid, Negroid dan ras-ras khusus.
[8]Philip K. Hitti, History of
The Arabs, 28.
[9]Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2010), 11.
[10]A. Shalabi, Sejarah dan
Kebudayaan Islam, buku I, terj. M. Sanusi Latief (Jakarta: Pustaka
Al-Husna, 1983), 29.
[11]Gustav Leboun, Had}a>ra>t
al-‘Arab (Kairo: Mat}ba‘ah ‘Isa al-Ba>bi> al-Halabi>, t.t), 72.
[12]Badri Yatim, Sejarah Peradaban…,
12.
[13]Syafiq A. Mughni, “Masyarakat
Arab Pra Islam”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, I (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2002), 15.
[14]Burhan al-Di>n Dallu, Jazi>rat
al-‘Arab Qabl al-Isla>m (Beirut: t.p, 1989), 129-130.
[15]Montgomery Watt, Muhammad at
Mecca (Oxford: Oxford University Press, 1956), 2-3.
[16]Ahmad Mujahidin, “Arab Pra
Islam; Hubungan Ekonomi dan Politik dengan Negara-Negara Sekitarnya”, Jurnal
Akademika, Volume 12, Nomor 2 (Maret, 2003), 12-13.
[17]Ibid., 13.
[18]‘Abd
al-‘Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Ta>rīkh Ṣadr al-Isla>m (Beirut: Markaz Dirāsah
al-Waḥdah al-‘Arabīyah, 2007), 41.
[19]R.A Nicholson, A Literary
History of The Arabs (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 83.
[20]Bernard Lewis, Bangsa Arab
dalam Lintasan Sejarah dari Segi Geografi, Sosial, Budaya dan Peranan Islam,
terj. Said Jamhuri (Jakarta: Ilmu Jaya, 1994), 10.
[21]Muh}ammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad,
terj. Ali Audah (Jakarta; Litera Antar Nusa, 2011), 19-20.
[22]M.M. al-A‘z}amī, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu
sampai Kompilasi (Jakarta: Gema Insani, 2005), 23.
[24]Muh}ammad ‘A<bid Al-Jābirī, Madkhal ila al-Qur`ān al-Karīm (Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah, 2007), 38-46.
[26]Ibid.,
41-42.
[27]Khalil Abdul
Karim, Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan (Yogyakarta: LKiS,
2003), 15-16.
helpfull. thanks.
BalasHapusthanks
BalasHapusMakasih banyak
BalasHapusJTM - The Official Website of Las Vegas Casino
BalasHapusWelcome 군산 출장샵 to the Las Vegas 충주 출장마사지 Casino! 거제 출장샵 Experience the thrills of 거제 출장마사지 Vegas 경기도 출장샵 with JTM's slots, tables, video poker and live entertainment. Come see why we are so